Ach... tentang gadis itu...


Beberapa waktu lampau, saya teringat  dalam sebuah perjalanan melelahkan saat meninggalkan kota RUKO Malang  ke daerah asal ku di Sampang Saat tiba di terminal Surabaya, entah kenapa, tiba-tiba rasa enggan memeluk erat langkahku untuk meneruskan perjalanan. Sejurus kemudian, kutebarkan pandangan untuk mencari kursi kosong ditengah lalu-lalang manusia yang seolah sibuk dengan diri mereka sendiri dan kupikir mereka tentu tak pernah hiraukan kehadiranku di sebagian hiruk-pikuk urusan mereka, hem….!! Ku hanya tersenyum geli melihat mereka… biasalah, nuansa terminal, dimana sejuta manusia menghirup udara dengan materi udara, ruang dan dengan kondisi yang sama pula di tempat itu, walupun toh tak diragukan lagi kalau mereka dari stratifikasi sosial yang berbeda-beda. Yup..! tentunya bungurasih tak pernah menganak-emaskan siapapun untuk menikmati udara dan  suasananya dan tak pernah pilih-kasih, baik orang kaya ataupun rakyat kumuh sekalipun. Bagiku, itulah keadilan bungurasih..!!

Dengan langkah gontai, kuayunkan kakiku setapak demi setapak kearah deretan kursi panjang dijorokan ruang tunggu. Wah, ada kursi kosong neh,,, batin ku berteriak riang- bak anak kecil dapat hadiah dari sinterklas… Biasalah, kondisi di sana emang selalu ramai dan kayaknya kompetisi mencari kursipun menjadi bagian dari kehidupan di terminal, walaupun nggak formal kalau duduk di kursi terminal tersebut disebut bagian dari lomba. Siapa cepat, dia dapat!!. Ha..ha..haa… Lalu, tanpa ba-bi-bu, ku rebahkan pantatku di kursi kosong itu. Uenak bangeeet…!!.dan bagiku  Jauh lebih  enak dari pada duduk di kursi ruang kampus yang hanya bengong atau lirik-sana-sini nge-cek  merk CD dinda Desi disaat dosen berceloteh tentang teori kuno. Itu pembodohan..!! “pikir ku kritis”

Sejurus kemudian, tanpa ku kendali, mataku mulai menggerayangi setiap aktifitas orang-orang disana dengan berbagai macam kelakuan. Sebagian ada yang mencari nafkah dengan menawarkan jasa angkut barang, menjadi calo untuk penumpang, melayani pembeli bagi penjaga kios,  lalu-lalang manusia  yang entah untuk bepergian atau hanya mejeng serta bermacam aktifitas lainnya yang tak pernah ku mau tahu.

Selang waktu berlalu, saat khayalku membumbung tinggi, menerobos sekat ruang-waktu serta sadarku mulai meregang dan seolah membuat sekat antara realitas dan “dunia lain” hanyut di dalam dimensi yang kubuat tanpa kurencanakan sebelumnya tapi mampu kukenali. Tiba-tiba, Ku terhenyak-kaget dengan tepukan lembut seorang gadis kecil, bertubuh legam berambut ala Punk, dengan pakaian lusuh bermutiara debu teraduk  asap deru mesin kendaraan. dengan tatapan tajam memelas serta muka yang tergurat duka yang amat mendalam, mengemis untuk sekeping receh atau selembar nominal yang tertera di hamparan kertas mata uang kita.

Q bwrfikir sejenak. Taksirku, gadis kecil itu berumur tujuh tahun. Manusia yang tidak semestinya menerima himpitan beban yang amat dahsyat besarnya. Manusia seumurnya yang seharusnya menerima metta dan karuna dari ayah ibu dan seluruh isi alam. Manusia yang seharusnya duduk manis di bangku ruang sekolah bermain dan bergembira bersama teman dan guru mereka untuk bersama mengenal aksara dunia. Manusia yang memiliki hak untuk merdeka, bahagia, riang bersama keluarga dan sejawatnya. Manusia yang tidak perlu mengenal uang dan komoditi komersial. Manusia suci tanpa dosa seperti dikhotbahkan dalam banyak kitab suci di hampir seluruh milik umat beragama. Manusia seperti dia yang…… entahlah aku tak mampu melukiskannya tentang kesenangan, kebahagiaan, riang gembira  dan rasa penuh warna bagi manusia seumurnya.

Tapi realitanya?!, anak sekecil dia telah terjelmakan menjadi manusia yang terengkuh dari kemanusiaannya. Bahagia menjadi lara, senang menjadi duka, gembira menjadi nestapa dan rasa menjadi bara… lalu, ada apa dengan orang tuanya, adakah mereka menelantarkan karunia Tuhan  yang pun dia memiliki hak kemanusiaan. Setega itukah mereka pada manusia kecil ini? Membiarkannya hampir mirip dengan binatang!. kemanakah hati masyarakat selama ini? Adakah masyarakat kita telah mengamini atas kondisi ketertidasan ini?  Dimanakah peran pemerintah dan Negara? Bukankah rakyat miskin dan anak terlantar dilindungi oleh Negara seperti tersirat dalam UUD ’45 pasal 28? Ataukah pasal tersebut hanya sebatas gincu pemerah bibir untuk mendongkrak popularitas politik mereka dalam momentum PEMILU?. Lalu, buat apa  dibuat UU No. 22 tahun 2002 yang menghabiskan ratusan Juta Rupiah bagi legislator yang di dalamnya  mengamanatkan atas perlindungan anak dari eksploitasi atau pemberangusan haknya? Atau barangkali, Negara sudah muak dengan rakyat miskin! sehingga disana-sini penggusuran terjadi atas nama penertiban. Cuek-bebek dengan pencemaran yang dilakukan oleh pabrik raksasa dan korporat kapitalis atas sungai dimana masyarakat miskin minum dan  mengairi sawah mereka! Ataukah pemerintah telah mencanangkan program rahasia di Indonesia dalam pengentasan kemiskinan dengan cara membunuh meraka dengan perlahan (silence to kills) !!?

Lalu dimanakah agama saat ini? Bukankah khotbah-khotbah telah begitu ramai dikumandangkan diseluruh tempat peribadatan untuk senantiasa berpihak terhadap kaum mustadz’afien? Dan bukankah agama telah memandang anak-anak sebagai insan yang fitri (manusia suci tanpa setitik dosa pun). Dan bukankah janji yang amat berlipat ganda tiada-tara disisi Tuhan bagai manusia yang membantu kesusahan manusia lainnya. Lalu, dimanakah se-abrek doktrin itu semua?? Sudah menjadi usangkah kata Tuhan tersebut karena kita terlalu sibuk dan arogan dengan kepentingan kita masing-masing. Ataukah kita terlalu naif untuk melihat ketimpangan sosial yang terjadi di sekitar  karena mata kita buta, rasa kita mati, dan akal kita bego’!! wallahu “alam bisshawab- lah.  Sebab aku pun miris melihat ketidakadilan ini.

Terus terang, aku sebagai manusia yang sejak kecil telah menerima cinta dan kasih sayang dari kedua orang tua yang begitu sempurna. Hari ini masih belum mampu menapaki kehidupan dengan tegar bagai karang diterjang ombak, belum kokoh bagai pohon yang terus diterpa angin dan badai serta belum mampu memayungi setiap orang yang bersandar dibawah rindangnya. Lalu, bagaimanakah nasib gadis kecil itu esok hari? Manakala ia tumbuh dewasa dan berinteraksi dengan sosial? Adakah orang pada suatu hari akan memaklumi latar belakangnya saat ia dipinang dan kawin, saaat ia menjadi publik figur suatu saat? Akankah ia tegar dan tabah? Lalu, siapakah yang patut dipersalahkan nasibnya??. Tentu bukan-lah Tuhan ku pikir!!. Sebab, ku yakin bahwa Tuhan Maha Adil dan bukan pendzolim serta nggak akan memberikan cobaan atas umat manusia sejauh ia tak mampu memikulnya. Lalu siapa???

Achhh…. Gadis itu…….!!! Amat malang nasib mu hidup ditengah hidangan kemewahan suguhan  Tuhan di Indonesia, tapi tak mampu meraupnya secuilpun………