Desakralisasi Birokrasi

Membandingkan Birokrasi Indonesia dan India
(Upaya memahami latar persoalan terjadinya debirokratisasi)

A.   Pendahuluan
Akhir Satu dasawarsa ini, persoalan birokrasi menjadi salah satu prioritas utama bagi Negara-negara yang sedang berkembang terutama yang tengah malaksanakan modernisasi dalam sector pelayanan publik, bagaimana tidak birokrasi sebagai sebagai sentrum kekuasaan yang menopang kualitas pelayanan publik bagi masyarakat luas harus dan semestinya menjadi organisasi pemerintahan mengedepankan profesionalitas, efektifitas dan efisiensi, sehingga kualitas pelayanan publik mampu tertopang secara integratif. Namun persoalannya tidak sesederhana itu, perjalanan birokrasi di belahan bumi di banyak negara banyak mengalami disefektifitas bahkan keluar dari pakem tujuan terbentuknya barokrasi. Padahal munculnya lembaga birokrasi seiring dengan tuntutan optimalisasi negara dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Menilik dari latar sejarahnya, Embrio organisasi pemerintahan modern bermula pada abad 18 di eropa timur, dimana birokrasi muncul pertama kali dan digunakan untuk menunjuk tata administrasi perkantoran. Sejak saat itu pada periode perkembangan selanjutnya birokrasi semakin menapaki kedewasaan konseptualnya seiring dengan gesekan tuntutan modernisasi tatakelola administrasi (terutama) di instansi pemerintahan.
Perkembangan “kedewasaan” birokrasi tersebut tidak lepas dari banyaknya upaya desakralisasi birokrasi  oleh banyak tokoh dan pakar scientis yang sebelumnya penggunaan birokrasi (dengan istilah yang menyeragam di banyak negara), seolah menjadi bagian motos yang tersakralisasi. Bahwa birokrasi dengan hampir totalitas konsep dan sistem yang melingkupinya menjadi bagian yang given for grented, seolah kritik menjadi “dosa” dan aktor di dalamnya bagaikan “dewa” yang mau-tidak-mau birokrasi kian menancapkan “kengeriannya” ditengah kegamangan tujuan antara melayani masyarakat dengan proteksi prosedural.
Tulisan ini ingin membandingkan antara realitas birokrasi di Indonesia dengan di India, mengingat peringkat birokrasi di kedua negara ini secara kualitas berada pada level terendah di Asia menurut hasil penelitian pada  tahun 2010 yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risc Consultancy) yang bertempat di Hongkong merengking 12 negara kunci daan kawasan dalam skala satu sampai sepuluh, dimana sepuluh merupakan nilai terburuk. Responden PERC adalah para eksekutif bisnis dalam survey tersebut menilai India sebagai negara dengan birokrasi paling bobrok dan di ikuti oleh Indoesia. India mendapatkan skor 9,41 dan diikuti Indoensia dengan skor 8,59.
Namun tidak hanya sudut pandang persamaan dan perbedaan atas kondisi birokrasi di dua negara tersebut saja dalam tulisan ini penulis mengetengahkan, namun latar persoalan dan problematika yang dihadapi oleh kesua negara ini pun akan dipaparkan guna melihat peta persoalan secara holistik, sehingga problem solving pada akhir tulisan ini pun barangkali dapat memberikan sedikit konstibusi bagi reformasi birokrasi pada kedua negara di atas.

B.  memahami persoalan birokrasi di India dan Indonesia
bahwa birokrasi tidaklah berada dalam ruang hampa, namun ia terikat dengan ruang dan waktu dimana gesekan budaya, politik baik dari dalam negeri maupun luar negeri menjadi faktor yang dominan selain persoalan sistem dan aparatur sebagai agen pelaksana organisasi yang bernaung di dalamnya.
Dalam sebuah Negara, birokrasi diperlukan sebagai alat Negara dalam penyelenggaraan negara dan melayani masyarakat. Negara tercipta atas kontrak sosial yang menghendaki terciptanya kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk melayani kepentingan rakyat inilah, Negara memerlukan sebuah unit  pemerintahan atau yang dikenal dengan birokrasi
Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia, birokrasi berkembang sebagai wahana utama dalam penyelenggaraan negara dalam berbagai bidang kehidupan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa. Birokrasi bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik, dan berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif, dan efisisen. Oleh sebab itu, disadari bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih atau clean government dalam keseluruan skenario perwujudan kepemerintahan  pemerintahan yang baik.
Penyelenggaraan pemerintahan di setiap Negara dalam menjalankan fungsinya melayani kepentingan masyarakat selalu berbeda tergantung pengaruh pengalaman sejarahnya serta kondisi sosial politik Negara tersebut. Negara yang pernah mengalami masa kolonialisme pasti pada awal terbentuknya Negara memiliki corak birokrasi warisan kolonial. Begitu juga halnya dengan Indonesia.
Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi di Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi birokrasi yang demikian diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga negara.
Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan misi utama birokrasi yang dibangun oleh kolonial adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.
Indonesia mengalami masa penjajahan yang begitu lama. Dimulai dari kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol. Kemudian disusul oleh bangsa Belanda yang menjajah negeri ini hingga kurang lebih 350 tahun lamanya. Kemudian terakhir, Indonesia dijajah oleh Jepang. Begitu lamanya Belanda menjajah bangsa ini, membuat segala corak sistem pemerintahan di Indonesia dipengaruhi oleh gaya pemerintahan jaman kolonial Belanda.
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam sistem kerajaan, pucuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolute. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus patuh dan tunduk pada kehendak sang Raja. Birokrasi pemerintahan yang terbentuk pada saat itu adalah birokrasi kerajaan, yang memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
  •  Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi;
  • Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana;
  • Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja;
  • “Gaji” dari raja kepada bawahan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja;
  • Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehndak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya dilakukan oleh raja.
Sedangkan pada masa kolonial Belanda, pelayanan publik tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Kedatangan penguasa kolonial tidak banyak mengubah sistem birokrasi dan adminitrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia.
Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani oleh masyarakat, motif utamanya adalah menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan. Selama pemerintahan kolonial terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi kolonial (binnenlandcshe Bestuur) yang mengenalkan sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem tradisional ( Inheemsche Bestuur ) masih tetap dipertahankan.
Setelah reformasi bergulir, usaha untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara–negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan.
Osborne dan Plastrik[1] mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara–negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara–negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara–negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada hingga saat ini, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate, hingga century gate setidak–tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan– kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.
Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.
Setelah reformasi, pemerintah berusaha memperbaiki keadaan birokrasi Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang pemberantasan KKN dan menciptakan aparat pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab. Diantaranya adalah Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Meskipun sudah melakukan reformasi di tahun 1998 ternyata untuk melakukan suatu perubahan dalam berbirokrasi atau reformasi birokrasi adalah hal yang sangatlah sulit. Kepentingan-kepentingan partai masih saja mengintervensi birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Implikasi dari adanya politisasi birokrasi, pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Karena masih melekatnya budaya birokrasi yang diwariskan masa orde baru, penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Daya saing kita ternyata berbanding terbalik dengan IPK, karena memang GCI kita lebih baik dari Filipina, Vietnam, Pakistan, Kamboja, dan Timor Leste. Berdasarkan The Global Competitiveness Report 2005-2006, ada 14 faktor yang menghambat daya saing bisnis suatu negara. Anehnya, faktor ekonomi makro seperti inflasi, bukanlah menjadi penyebab utama, demikian halnya korupsi. Malah yang menjadi penyebab utama adalah birokrasi yang tidak efisien. Secara berurut faktor utama penghambat peluang bisnis itu, antara lain inefisiensi birokrasi (21%), buruknya infrastruktur (19%), regulasi perpajakan (15%), dan korupsi (11%).
Dari angka-angka di atas, dapat disimpulkan bahwa problem utama negara kita dari persepsi pebisnis, adalah birokrasi yang tidak efisien, bukanlah korupsi, sebab korupsi merupakan akibat dari tata kelola pemerintahan yang tidak baik. Dengan demikian, yang menjadi masalah fundamental dari rendahnya daya saing negara kita, adalah birokrasi yang kurang efisien.
Jika melihat apa yang sekarang sedang dilakukan Indonesia dalam memperbaiki daya saing, malah terkesan kurang tepat sasaran. Karena problem utama yang harus dibenahi seperti revitalisasi struktur, kultur dan reposisi figure birokrasi yang responsif dan akomodatif terhadap pasar untuk menciptakan market friendly, justru kurang mendapat prioritas. Langkah pembenahan selanjutnya, seharusnya diarahkan kepada perbaikan infrastruktur seperti jalan, listrik, air dan jaringan telepon, serta perpajakan, dan pemberantasan pungutan liar terutama pada saat bongkar muat barang barang ekspor-impor. Upaya ini, jauh lebih efektif dibandingkan terus-menerus memperbaiki masalah korupsi APBN/APBD dalam pengadaan barang dan jasa tanpa memperbaiki masalah utamanya.
Jika masalah ini dibiarkan terus berlangsung, boleh jadi, langkah kita menjadi kontraproduktif terhadap upaya untuk menciptakan perbaikan daya saing yang memang semakin kompetitif.
Sedangkan para akademisi, lebih banyak melihat kinerja birokrasi itu, dari model birokrasi yang dikembangkan oleh Weber (Weberian). Model ini menggunakan alat ukur. Di antaranya, pertama, efisiensi yang rendah, birokrasi kita dikenal boros, kurang produktif dan pelayanan yang belum memberikan kepuasan bagi para pengguna jasa publik. Hal ini disebabkan karena struktur birokrasi dari mulai pusat hingga daerah yang sangat gemuk. Selain pengambilan keputusan yang cenderung hierarkis sentralistik, membuat birokrasi bergerak sangat lamban.
Kedua, sebagai akibat struktur organisasi birokrasi pusat/daerah yang terlalu gemuk, dan juga jumlah aparatur negara yang demikian banyak, telah membuat hampir semua persoalan diurus oleh birokrasi negara. Realitas tersebut menjadikan birokrasi terasa begitu dominan dalam mengatur kehidupan bernegara. Kondisi ini menyebabkan munculnya korporatisme negara.
Ketiga, orientasi pelayanan publik yang masih rendah. Hal ini diindikasikan dengan sangat sulitnya membangun kultur birokrasi yang melayani. Meskipun secara struktur telah ada dan dibentuk pusat-pusat pelayanan terpadu, tapi dalam praktiknya di bagian back office, percaloan masih kerap saja terjadi.
Keempat, perekrutan pegawai di jajaran birokrasi pemerintah terus-menerus dilakukan tanpa memperhatikan kejelasan kriteria. Kriteria yang jelas dan kebutuhan organisasi juga kebutuhan daerah belum mendapat perhatian serius, karena memang rekrutmen pegawai masih didesain secara uniform dan dilakukan oleh tingkat pusat.
Sedangkan India, diposisikan sebagai Negara dengan birokrasi yang paling buruk di Asia berdasarkan survey PERC (Political and Economic Risc Consultancy) yakni sebagai peringkat nomor satu terburuk. Padahal dilihat dari pertumbuhan ekonominya, India dapat dikatakan sebagai Negara yang kompetitif dengan pertumbuhan ekonominya sangat cepat dan seiring dengan Negara China, namun persoalannya menjadi lain, karena masalah birokrasi di India menjadi masalah yang begitu rumit, sehingga andaikan birokrasi di Negara ini sangat efektif, tanpa menutup kemungkinan India akan segera menjadi Negara Maju di Asia. Sebab, di India infrastruktur perekonomian sudah ada namun tinggal budaya masyarakat disana, akankah berfikir modern atau justru berfikir tradisional akan terus dipertahankan.
India merupakan Negara dimana daya tarik Investor aing untuk menanamkan sahamnya disana sangat banyak, namun kebanyakan Investor tersebut mengurungkan niatnya karena lagi-lagi dihadapkan dengan perosalan birokrasi yang sangat tidak efisian, terlalu “banyak pintu” untuk hanya sekedar mengurus surat izin, dan tentunya pungutan liar atau korupsi dengan  realitas budaya paternalistik.
Bagi penulis, India dan Indonesia masing-masing hampir memiliki persamaan dalam hal faktor-faktor terjadinya inevisiensi birokrasi, sehingga PERC bagi masing-masing negara menempatkan pada posisi terendah di asia. Faktor tersebut yaitu:
Indonesia dan India sama sama memiliki akar budaya paternalistik yang sangat kuat, namun persoalannya hanya sebatas frekuensi saja yang sedikit membedakan kedua negara tersebut. Tetapi secara umum budaya paternalistik sangat memberikan konstribusi bagi terciptanya birokrasi yang tedak efektif.
Kedua, persoalan korupsi bagi kedua negara ini sama-sama sebagai kelas berat. Kasus penggelapan uang, pemungutan liar diluar prosedur, hingga kolusi dan nepotisme menjadi warna kental atas bobroknya birokrasi sebagai pelayan publik.


C.  Penutup
survey PERC (Political and Economic Risc Consultancy) yang dilakukan pada tahun 2010 ini bisa jadi merupakan penilaian sepihak, karena koresponden yang digunakan adalah para investor maupun pengusaha dalam menilai pelayanan publik yang dilakukan oleh lembaga birokrasi, tentu aspek-aspek lain barangkali tidak mencakup. Namun persoalannya adalah bukan seberapa valid hasil penelitian tersebut tetapi lebih kepada upaya mengukur dan koreksi tingkat responsibilatas birokrasi dalam melakukan tugas sebagai pelayan masyarakat.
Indonesia dan India sebagai negara yang terendah tentunya harus sesegera mungkin untuk melakukan reformasi bbirokrasi agar keberadaannya tidak menghambat proses terwujudnya tujuan bernegara dan berbangsa bagi masing-masing negara.


[1] Dikutip dalam Anderson, B.R.O.G. 1983, “Negara Kolonial dalam Baju Orde Baru”, diterjemahkan dari “Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, dalam Journal of Asian Studies Vol. XLIII, No. 3, May 1983, Hal. 477-496.