Komodifikasi Gender

Rekayasa keadilan gender oleh gerbong feminis radikal dengan tawaran konsep 50/50, nyata-nyata telah menimbulkan bentuk deskriminasi baru . bukankah hal tersebut cukup kebablasan dan “melampui” atas kodrat wanita yang sebenarnya?
Saat persoalan gender mengemuka dan menjadi konsumsi publik, hal yang paling dikaitkan adalah mengenai peran dan status dimana perempuan menjadi sub-ordinat dari laki-laki (manusia cadangan), perlakuan tidak adil dan deskriminasi lainnya. Dengan kata lain  ada kondisi ketidaksetaraan antara posisi perempuann dengan laki-laki dalam ranah-peran di pentas kehidupan.

Ketidaksetaraan yang menjadi titik kilas adalah dimana perbedaan secara biologis  (natue) ataupun perbedaan yang dibentuk oleh lingkungan (nurture) yang kemudian melahirkan differensiasi peran dan fungsi (devision of labor) yang berimplikasi linier terhadap perlakuan dari pembedaan tersebut. Misalnya, perempuan yang dilekatkan dengan sifat 3R (sumuR, dapuR, kasuR), pembatasan peran publik, parsialisasi partisipasi dan beberapa kualitas feminin lainnya.

Kondisi yang semacam itu tentu dinilai “tidak adil”, mengurung serta memberangus hak kebebasan perempuan. Lalu pertanyaannya kemudian adalahkenapa perlakuan deskriminatif ini seringkali terjadi dan bahkan praktek tersebut seolah-oleh terkomodifikasi secara terus menerus seiring dengan dealektika zaman?
Pada tahun 1990, UNDP (Unit Nations Development Program) telah memperkenalkan sistem penilaian pertumbuhan keberhasilan pembangunan manusia yakni HDI (Human Development Index) dengan memiliki Empat aspek pengukuran: usia harapan hidup (life expektasy), angka kematian bayi (infant Morality Rate) dan kecukupan pangan (food Security) serta kesetaraan Gender (lih: Megawangi, Ratna; 1999). Sistem ini memiliki tujuan kesejahteraan manusia ditilik dari segi kuantitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan “maksud” untuk memberikan solusi jawaban bagi persoalan kketidakadilan gender.

Untuk mencapai kesetaraan gender, UNDP memperkenalkan konsep kuantitatif 50/50. Artinya proporsi peran dan fungsi yang diberikan kepada perempuan harus dengan jumlah yang seimbang dengan peran dan fungsi yang diberikan kepada laki-laki, baik dalam skala domestik maupun publik. Sehingga memungkinkannya optimalisasi sumberdaya perempuan dan meghapus praktek deskriminasi.

Cita yang mulia sebenarnya atas apa yang diidealkan leh UNDP di atas, namun keadilan tersebut perlu dikaji lebih mendalam.sebab, konsep keadilan merupakan garapan sosiologis yang berdimensi filosofis dan abstrak. Sehingga tawaran UNDP di atas tidak hanya sekeedar mimpi belaka atan bahkan menyesatkan!!.

Bagi feminis radikal, porsi 50/50 barangkali di-amini atau bahkan menjadi inspirasi besar bagi meraka dalam menciptakan keadilan gendar (dan barangkali maskulinisasi perempuan), sebab mereka menilai bahwa penindasan terhadap perempuan dan praktek deskriminasi gender karena bermula atas konstruksi kultur/bdaya patriarkhal yang selama ini membumi dan mendarah-daging dalam konsep dan kesadaran manusia. Bahwa perempuan adalah trial version yang memiliki ketidaksempurnaan kemanusiaan. Ia lemah, ekspresif, famile modisty dan tidak cukup mumpuni untuk mengelola sektor publik sehingga coccok hanya untuk menjadi figur instrumental dalam ranah domestik.

Untuk menghilangkan stigma ini, feminis radikal berupaya melakukan counter hegemoni yang diyakini menjadi sumber ketidakadilan gender. Yakni:
  •     Dengan mengeluarkan para perempuan dari cengkraman keluarga yang dinilai faktor utama     ideologisasi ketidaksetaraan gender; dengan tidak mengurus anak, harus bersaing dengan suami dalam mengumpulkan kekayaan, berperan aktif dalam urusan publik serta obsesi lainnya.
  •          Counter terhadap hegemoni agama yang selama ini membentuk grand image dan ikut andil dalam “mengkerdilkan” posisi-peran perempuan.
  •         Melawan praktek patriarkal yang meng-adi luhung-kan laki-laki dari pada perempuan.

Upaya-upaya gerakan feminis radikal tersebut menjadi agenda besar atas transformasi gender untuk realisasi 50/50 secara massif. Namun, bukankah hal tersebut cukup kebablasan dan “melampiu” atas kodrat perempuan yang sebenarnya? Apakah hanya karena menghilangkan image buruk terhadap perempuan, mereka harus keluar rumah dan menelantarkan atas pengasuhan dan pendidikan anak? Ataukah karena ingin dicitrakan bahwa perempuan lebih baik dari laki-laki sehingga menstruasi, hamil dan melahirkan merupakan kondisi yang “jijik”? atau bahkan perempuan dikatakan nista manakala mengabdi terhadap suami? Dan menuding agama sebagai sumber immoralitas? Atau barangkali “takut” dilabeli sebagai perempuan victorian (tradisional) karena tidak beraktifitas di pentas publik?

Ketika kondisi demikian, perlu kiranya gerakan dekonstruksi atas konsepsi gerakan feminis semacam ini. Karena tentunya banyak sigmen yang perlu dikaji secara objektif dan arif, sehigga tidak melahirkan komodifikasi bias  gender dan ketidakadilan yang lain.

Tentunya penulis lebih sepakat, bahwa kesetaraan gender akan lahir manakala masing-masing kubu tidak dipertentangkan (fungsi dan perannya). Artinya baik laki-laki maupun perempuan memiliki kearifan dan keunggulan tersendiri dalam kodratnya, sehingga kemudian tinggal bagaimana memanfaatkan kelebihan dan kekurangan dari keduanya sebagai bangunan yang kokoh dalam menterjamahkan kehidupan ini.